Merupakan satu anugerah dari Allah ketika seorang wanita
dipertemukan dengan pasangan hidup dalam satu jalinan kasih yang suci. Hal ini
sebagai satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Sang Khaliq.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم
مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ
لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya Dia menciptakan utk kalian pasangan
hidup dari jenis kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tentram
kepada dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguh pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Apalagi bila pendamping hidupnya itu seorang suami yang shalih yang
akan memuliakan istri dengan penuh kasih dan cinta di hati , sekali pun demikian kalau toh cinta itu tidak
kunjung datang maka ia tidak akan sampai menghinakan istrinya.
Merajut dan menjalin tali pernikahan agar selalu berjalan baik tidak bisa
dikatakan mudah bagai membalik kedua telapak tangan karena itu dibutuhkan ilmu dan
ketakwaan untuk dapat menjalaninya. Seorang suami butuh bekal ilmu agar ia tahu
bagaimana menahkodai rumah tangganya. Istri pun demikian ia harus tahu bagaimana
menjadi seorang istri yang baik dan bagaimana kedudukan seorang suami dalam
syariat ini. Masing-masing punya hak dan kewajiban yang harus ditunaikan agar
jalinan itu tidak goncang ataupun terputus.
Syariat menetapkan seorang suami memiliki hak yang sangat besar terhadap istri
sampai-sampai bila diperkenankan oleh Allah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam akan memerintahkan seorang istri sujud kepada suaminya.
Abdullah ibnu Abi Aufa bertutur: Tatkala Mu’adz datang ke negeri Yaman atau
Syam ia melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi
gereja mereka. maka ia memandang dan memastikan dalam hati bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam adalah yang paling berhak utk diagungkan seperti itu. Ketika
ia kembali ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ia berkata: “Ya
Rasulullah aku melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan
petinggi gereja mereka maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa
engkaulah yang paling berhak utk diagungkan seperti itu.” Mendengar ucapan
Mu’adz ini bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا
أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ
َأنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ
حَقَّ الله عَزَّ وَجَلَّ
عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ
حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا
نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ
لأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
“Seandai aku boleh memerintahkan seseorang utk sujud kepada orang lain niscaya
aku perintahkan seorang istri utk sujud kepada suaminya. Dan tidaklah seorang
istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Azza wa Jalla terhadap hingga ia
menunaikan seluruh hak suami terhadapnya. Sampai-sampai jika suami meminta diri
sementara ia sedang berada di atas pelana maka ia harus memberikan .”
Satu dari sekian banyak hak suami terhadap istri adalah disyukuri akan kebaikan yang diperbuat dan tidak dilupakan keutamaannya.
Namun disayangkan banyak di kalangan para istri yang melupakan atau tidak tahu
hak yang satu ini hingga kita dapatkan mereka sering mengeluhkan suami
melupakan kebaikan yang telah diberikan dan tidak ingat akan keutamaannya. Yang
lebih disayangkan lagi ucapan dan penilaian miring terhadap suami ini kadang menjadi
bahan obrolan di antara para wanita dan menjadi bahan keluhan sesama mereka.
Padahal perbuatan seperti ini menghadapkan si istri kepada kemurkaan Allah dan
adzab yang pedih.
Perbuatan tidak bersyukur seperti ini merupakan satu sebab wanita menjadi mayoritas menjadi penghuni neraka. Sebagaimana diberitakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
seselesai beliau dari Shalat Kusuf :
أُرِيْتُ النَّارُ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا
النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ. قِيْلَ: أَ يَكْفُرْنَ
بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ
وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ
إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَ رَأَتْ مِنْكَ
شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ
خَيْرًا قَطُّ
“Diperlihatkan neraka kepadaku. Ternyata mayoritas penghuni adalah para wanita yang
kufur .” Ada yang berta kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada
Allah?” Beliau menjawab: ” mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan .
Seandai engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka satu masa kemudian
suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu niscaya ia akan berkata: Aku sama
sekali belum pernah melihat kebaikan darimu.”
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini disebutkan secara
khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara sekian dosa lain karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan: Seandai aku boleh memerintahkan
seseorang utk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan seorang istri utk
sujud kepada suaminya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggandengkan hak
suami terhadap istri dengan hak Allah maka bila seorang istri
mengkufuri/mengingkari hak suami sementara hak suami terhadap telah mencapai
puncak yang sedemikian besar hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan
hak Allah. Karena itulah diberikan istilah kufur terhadap perbuatan akan tetapi
kufur tidak sampai mengeluarkan dari agama.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengisahkan:
قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ
فَكَانَ عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِيْنُ
وَأَصْحَابُ الْجَدِّ مَحْبُوْسُوْنَ غَيْرَ أَنَّ أَصْحَابَ
النَّارِ قَدْ أُمِرَ بِهِمْ
إِلَى النَّارِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ
دَخَلَهَا النِّسَاءُ
“Aku berdiri di depan pintu surga ternyata kebanyakan yang masuk ke dalam adalah
orang-orang miskin sementara orang kaya lagi terpandang masih tertahan namun
penghuni neraka telah diperintah utk masuk ke dalam neraka ternyata mayoritas yang
masuk ke dalam neraka adalah kaum wanita.”
Pada hari Idul Adha atau Idul Fithri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelah beliau berkhutbah dan
ketika melewati para wanita beliau bersabda: “Wahai sekalian wanita
bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar karena sungguh diperlihatkan
kepadaku mayoritas kalian adalah penghuni neraka.” Berkata salah seorang wanita
yang cerdas: “Apa sebab kami menjadi mayoritas penghuni neraka wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan
suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agama namun dapat
menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.” Wanita
itu berta lagi: “Ya Rasulullah apa yang dimaksud dengan kurang akal dan kurang
agama?”. “Adapun kurang akal wanita ditunjukkan dengan persaksian dua orang
wanita sama dengan persaksian seorang lelaki. Sementara kurang agama wanita
ditunjukkan dengan ia tidak mengerjakan shalat dan meninggalkan puasa di bulan
Ramadhan selama beberapa malam .”
Karena mayoritas kaum wanita adalah ahlun nar maka mereka menjadi jumlah yang
minoritas dari ahlul jannah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam nyatakan hal ini
dalam sabdanya:
إِنَّ أَقَلُّ سَاكِنِي الْجَنَّة
النِّسَاءُ
“Minoritas penghuni surga adalah kaum wanita.”
Bila demikian ada tidak pantas bagi seorang wanita yang mencari keselamatan
dari adzab untuk menyelisihi suami dengan mengkufuri kenikmatan dan kebaikan yang
telah banyak ia curahkan ataupun banyak mengeluh hanya karena sebab sepele yang
tidak sebanding dengan apa yang telah ia persembahkan utk anak dan istrinya.
Sepatut bila seorang istri melihat dari suami sesuatu yang tidak ia sukai atau tidak
pantas dilakukan maka ia jangan mengkufuri dan melupakan seluruh kebaikannya.
Sungguh bila seorang istri tidak mau bersyukur kepada suami sementara suami adalah
orang yang paling banyak dan paling sering berbuat kebaikan kepada maka ia pun tidak
akan pandai bersyukur kepada Allah ta`ala Dzat yang terus mencurahkan
keni’matan dan menetapkan sebab-sebab tersampaikan keni’matan pada tiap hamba.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam:
مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ
لاَ يَشْكُرِ اللهَ
“Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia maka ia tidak akan bersyukur kepada
Allah.”
Al-Khaththabi berkata: “Hadits ini dapat dipahami dari dua sisi.
Pertama: orang yang tabiat dan kebiasaan suka mengingkari kenikmatan yang
diberikan kepada dan enggan utk mensyukuri kebaikan mereka maka menjadi
kebiasaan pula mengkufuri ni’mat Allah ta`ala dan tidak mau bersyukur
kepada-Nya.
Kedua: Allah tidak menerima rasa syukur seorang hamba atas kebaikan yang
Dia curahkan apabila hamba tersebut tidak mau bersyukur terhadap kebaikan
manusia dan mengingkari kebaikan mereka karena berkaitan dua perkara ini.”
Adapun Al-Qadhi mengatakan tentang hadits ini: ” bisa jadi karena mensyukuri
Allah ta`ala hanya bisa sempurna dengan patuh kepada-Nya dan melaksanakan
perintah-Nya. Sementara di antara perkara yang Dia perintahkan adalah berterima
kasih kepada manusia yang menjadi perantara tersampaikan nikmat-nikmat Allah
kepadanya. maka orang yang tidak patuh kepada Allah dalam hal ini ia tidak
menunaikan kesyukuran atas keni’matan-Nya. Atau bisa pula makna orang yang tidak
berterima kasih kepada manusia yang telah memberikan dan menyampaikan
keni’matan kepada padahal ia tahu sifat manusia itu sangat senang mendapatkan
pujian ia menyakiti si pemberi kebaikan dengan berpaling dan mengingkari apa yang
telah diberikan maka orang seperti ini akan lbh berani meremehkan sikap syukur
kepada Allah yang sebenar sama saja bagi-Nya antara kesyukuran dan kekufuran .”
.
Sudah sepantasnya bagi seorang istri yang mencari keselamatan dari adzab Allah untuk
mencurahkan seluruh kemampuan dalam menunaikan hak-hak suami karena suami adalah
jembatan untuk meraih kenikmatan surga atau malah sebalik membawa diri dia ke jurang
neraka. Al-Hushain bin Mihshan radalahiallahu anhu menceritakan bahwa bibi
pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena satu keperluan
dan setelah selesai dari keperluan tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berta kepadanya:
أَ ذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟
قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ
أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا
آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجزْتُ
عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ
أَنْتِ مِنْهُ فَإنَّمَا هُوَ
جَنَّتُكِ وَنارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana
engkau terhadap suamimu?” ta Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah
mengurangi hak kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah
bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu saat bergaul dengan suamimu karena
suamimu adalah surga dan nerakamu.”
Saudariku, janganlah engkau sakiti suamimu dengan tidak mensyukuri apa yang
telah diberikannya. Ingatlah suamimu hanya sementara waktu menemanimu di dunia
kemudian dia akan berpisah denganmu dan berkumpul dengan para bidadari surga yang
murka kala engkau menyakitinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan
hal ini dalam sabdanya:
لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا
فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهَا
مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ
اللهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ
يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Tidaklah seorang istri menyakiti suami di dunia kecuali berkata hurun `in yang
menjadi istri si suami di surga: “Jangan engkau menyakiti qatalakillah karena
dia di sisimu hanyalah sebagai tamu dan sekedar singgah hampir-hampir dia akan
berpisah denganmu untuk bertemu dengan kami.”
Wallahu ta`ala a`lam bishawwab.
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein
Sumber: www.asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sahabat pengunjung yang baik,mohon tuliskan kesan Anda pada blogs sederhana kami ini. Terikasih Anda sudah menengok pojok tulisan ini.