8 Februari 2018

Guru Di Era Milenium Dilema Dalam Dunia Digital


Oleh: Endar Sudarjat 

Tak terasa 3 bulan lagi disebut Pak Guru sudah hampir 30 tahun. Pertama berdiri di depan kelas sebagai pemuda yang mungkin masih culun di Bulan Mei 1988 itu pertama kali jadi guru honorer mapel Tata Negara di depan kelas pada satu sekolah SMA swasta di Bandung. Pertama kali berdiri di depan sebagai guru invaller dosen kebanggaanku di jurusan PMPKN IKIP Bandung saat itu.

Sebagai anak kuliahan D3 tahun ke-3 semester 5 saat itu sudah demikian siap dan terbayang saat keluar harus menjalani masa kontrak kedinasan jadi guru negeri atau CPNS selama 2 tahun minimal untuk bisa menikmati bangku kuliah lagi. Namun sebelum itu semua terjadi dalam hati sudah ada niat dan tekad bila haeus kuliah lagi ke jenjang S~1 harus bisa mandiri tanpa minta biaya kuliah dari ortu lagi. Alhamdulillah niat itu akhirnya dialami.

Namun disadari kini setelah hampir 30 tahun berdiri di depan kelas bukannya bertambah hebat dalam mendampingi anak peserta didik. Di usia lebih dari 50 tahun ini banyak faktor yang mempengaruhi baik internal mau pun eksternal. Sekalipun mungkin dalam persiapan untuk KBM di kelas sudah disiapkan sedemikian rupa dan dengan dukungan alat bantu yang diatas rata-rata sebagai bagian perbaikan kompetensi yang harus dimiliki sebagai seorang guru serta memang tak pernah ikut model langkah langkah KBM seperti dalam draft RPP model jaman now, rencana kadang tinggal rencana karena pada kenyataannya tak luput dari berbagai kendala yang dipengaruhi sikon di saat akan diimplementasikan.

Paling buruk dapat sebutan teman sebagai guru tancap layar, ya beralasan karena suka pasang layar proyektor dan terakhir pasang sendiri secara paten dalam ruangan yang khusus hasil negoisasi sewaktu briefing kedinansan di unit kerja. Hanya tetap masih ada hal yang bikin mbulet dimana gagasan ingin mendampingi anak untuk bisa menggunkan gawai seperti Smartphone, Tablet dan sejenisnya terbaca di anak masih ada sindrome rasa takut gawainya kena razia bidang yang menangangi sektor keaiswaan. Kerja belum bisa kompak itu yang masih jadi masalah.

Evaluasi pendidikan, test, ujian sekolah dan ujian nasional sudah didorong agar memanfaatkan IT bebasis digital namun nampaknya untuk di unit sekolah pinggiran masih perlu jalan panjang. Ketidaksetaraan mindset guru sangat berpengaruh dan hal inilah yang jadi PR para pengambil kebijakan.

Ada ironi, sebagai guru yang pernah mengalami melatih guru di negeri tetangga khususnya di Pattani Thailand untuk implementasi digital class dan memang di negerinya sudah mulai mengerucut ke penerapan konsep paperless schol, setiap informasi apa pun yang mendorong ke arah itu mereka sambut dengan antusias. Miskilnya saat menengok ke kondisi anak-anak pembelajar di negeri sendiri hanyalah ngelus dada, seolah sarana belajat basis IT itu akan butuh dana besar untuk kelengkapan di Lab komputer ada PC,laptop, server lokal, jaringan internet khusus dan pendukung lainnya yang berbiaya sangat mahal. Memang tidak salah namun banyak yang lupa atau tidak tahu bahwa Smartphone yang ada dalam genggaman anak-anak kita sekalipun merk China bisa jadi malah bisa lebih canggih dari PC berotak dual core.

Ini salah satu mindset yang harus segera ada koreksi. Bila anak menggunakan Smarphone HP atau Tablet tanpa pendampingan justru sangat berbahaya sekali.

Kondisi berbeda telah dinikmati anak-anak muda negeri lain, mereka sudah lari memanfaatkan kemajuan IT lewat tablet sebagai sarana belajar itu hal biasa, termasuk evaluasi belajar dan sekaligus lomba-lomba kecakapan lainnya lewat dunia digital sudah mereka aplikasikan dengan sebaik-baiknya.

Pertanyaannya kini, apakah anak-anak kita perlu atau tidak memanfatkan ICT basis digital di kelas pembelajarannya?

Ini butuh eksekusi kebijakan secepatnya, khususnya untuk peserta didik di sekolah umum. Bila tidak ya sekalian saja model pembelajaran kita betahan di model pembelajaran konvensional ala pesantren pakai kertas tapi lebih efisien yang fokus kekuatannya pada iqra kitab kuning. Cara ini pun sudah cukup terbukti dapat menghasilkan generasi cerdas, militan dan punya akhlaq yang inshaAllah lebih baik dan berlanjut banyak alumninya studi ke perguruan tinggi luar khususnya di negara-negara mayoritas muslim dan bekerja sesuai dengan keahliannya. Dibanding kebijakan model pendidikan umum saat ini yang kesannya tanggung malah banyak diwarnai dualisme kewenangan pusat dan daerah .

Untuk model pondok salafiyyah tak heran yang bagi santri pondok di usia tanggung (seusia SD dan SMP) pengelola pesantren melarang atau memproteksi ('mengaramkan') gawai berbasis digital termasuk juga media TV digunakan sebagai sarana alat bantu belajar. Kebijakan itu memang tepat, jangan dulu dikenalkan alat IT sehingga nanti santri banyak lari ke dunia maya  yang efeknya malah jauh lebih berbahaya, ghirah belajar mereka yang didorong agar kuat di literasi buku kitab manual bila diseret ke dunia literasi digital hal itu akan terjadi benturan mindset karena luar pakem kebiasaanya. Akan sangat dilematis, kecuali untuk model pontren modern, namanya saja ada label modrern maka basis melek IT jadi bagian dari target kompetensi lulusannya.

Silakan model mindset mana yang mau kita pilih, tegakkan. Bila mau campuran semacam seduhan kopi boleh juga. Putih gula dan hitam kopi baru akan terasa mantap saat komposisi perbandingan dan diuleknya tepat tapi tetep butuh ahlinya..Oke.  ;)

Penemubaling di teras sekolah..
Cibodas 07022018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sahabat pengunjung yang baik,mohon tuliskan kesan Anda pada blogs sederhana kami ini. Terikasih Anda sudah menengok pojok tulisan ini.