2 Mei 2012

Kopi Pahit Nilai Toleransi dalam Aturan dan Kebiasaan




Sangat sering kita dengar kata Toleransi. Kata yang mengandung pemaknaan sedemikian indah dan sering digunakan sebagai pembelaan diri bila kita salah (pen; budaya maklumisasi). Begitu banyak bangsa lain juga memuji atas bertahannya bangsa besar kita yang bisa hidup dalam kemajemukan,dapat berdampingan secara damai dalam perbedaan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan serta Adat istiadat) yang konon ini sudah jaadi kebiasaan rakyatnya secara turun temurun dan itu karena adanya sikap toleransi. Maka dikatakanlah Toleransi itu menjadi perekat penting kemajemukan. 

Toleransi juga dikenal dalam hitungan - hitungan dalam penentuan ukuran standarisasi di bidang apa saja. Disana tolerasi adalah nilai ambang batas ukuran yang diperbolehkan dari titik Optimum. Adanya toleransi itu mungkin karena disadari antara teori pengujian dan pelaksanaan pengujian tidak yang memastikan dengan pasti akurasinya. Praktisi lapangan sering menyebutnya teori dan praktek slalu ada selisih. Jadi untuk menjaga harga dari selisih tadi tetap menjadi bahan pertimbangan, maka dipakailah nilai prosentasi toleransi plus minus. Barangkali begitu. 

Barangkali juga toleransi dalam kehidupan beragama. karena dalam kehidupan beragama satu dengan yang lainnya bukan saja karena saling menghargai kebebasan agama masing - masing menurut UUD, tapi juga mungkin, dimasing - masing agama itu tidak dapat dibuktikan benar dan salahnya, maka toleransi adalah jalan keluarnya. Kenapa begitu? 

Mari coba kita lihat, agama itu memberikan nilai kebenaran. Nilai kebenaran ini tidak sama dengan Nilai benar dan salah. Nilai benar dan salah timbangannya pasti, benar ya benar, salah ya salah. Nilai pastinya tidak bisa disanggah oleh argumentasi apa pun. Jangan jauh - jauh untuk mengujinya, ambil saja contoh konvensi hitungan matematika, penjumlahan, perkalian sampai dengan pembagian. Kenapa tidak bisa dibantah disana? Sederhana sekali ya, karena antara teori berhitung dengan prakteknya sama. Dari contoh ini, tidak juga bisa dikatakan nilai salah dan benar itu hanya untuk kalkulus. Nilai benar dan salah juga bisa untuk Ilmu apa saja, termasuk kitab - kitab suci. Masalahnya belum pernah diuji bersama dari semua tinjauan. Kenapa tidak pernah di uji, karena sudah menjadi kesadaran umum, kitab itu isinya nilai kebenaran. 

Khusus agama Islam, berhubung saya Islam, saya urai saja sedikit dari yang pernah dialami waku kecil. Dalam agama Islam, dikenal pula toleransi dalam penentuan waktu beribadah. Contohnya saat puasa di bulan Ramadhan, terutama menjelang puasa dan buka. 

Ketika puasa ramadian ada tanda imsyak, sebagai tanda untuk segera siap - siap menghentikan makan sahur, disini masih ada toleransi kalau sekedar mau minum air putih. Kemudian toleransi lagi boleh makan sedikit kalau bangunnya pas imsyak. Pada waktu menjalankan puasa pun begitu, ada toleransinya, makan karna lupa, tidak batal, sama dengan boleh puasa lagi.
Menjelang tanda buka juga sama, silahkan sajalah diingat - ingat dari pengalaman masing - masing, pasti ketemu kan toleransinya? 

Ini hanya sekilas gambaran saja bagaimana toleransi itu dalam kehidupan sehari - hari kita dalam menjalankan ibadah berdasarkan keyakinan agama masing - masing. 

Kebebasan ini dijamin Negara, karena sudah ditetapkan dalam Kontitusi Negara. Lewat hukum dasar itu pula yang mengatur norma hukum, hukum berbuat dalam bernegara, yang dikenal dengan hukum tatanegara. Lembaga Peradilan merupakan tempat pertimbangan kepastian hukumnya untuk mendapatkan keadilan seadil - adilnya menurut aturan / norma hukum yang berlaku. Sedangkan Hukuman adalah sanksi, sama dengan ganjaran, sama dengan imbalan.

Kenyataannya kemudian berubah dilapangan,tentunya karena ada ulah seperti yang sering kita jumpai, kita lihat, kita alami, kita rasakan, banyak sekali timbangan - timbangan hukum dalam keputusan di setiap peradilan, orang bilang tajam kebawah tumpul keatas. Artinya tidak adil, tidak seduduk seberdiri didalam hukum. Dengan kata lain, lebih banyak yang tidak memenuhi nilai - nilai adil menurut norma hukum. Maka wajar kemudian dikatakan tidak adil, karena tidak adil menurut norma berbuat, sama dengan tidak memenuhi nilai adil berdasarkan nilai - nilai yang memenuhi harapan kemanusiaan. Itu semua karena toleransi. 

Dari uraian ini bukan mau mengatakkan, bahwa toleransi itu salah, toleransi itu tidak benar. Bukan kesana. Karena toleransi itu sangat baik dalam kehidupan, apalagi dalam kehidupan beragama.
Berbeda jika toleransi dihubungkan dengan Aturan norma berbuat atau norma hukum dalam ikatan negara, sebab dalam pelaksanaannya nanti, batasan - batasan toleransi itu yang membuat Hukum tidak pernah ajeg. Karna Hukum itu harus memberikan nilai kepastiannya.

Kemudian juga, dengan adanya toleransi dalam norma hukum, akan menggeser aturan itu sendiri. Karena berangkat dari toleransi, tidak jarang juga muncul itu, bukan cuma yang tertulis dalam aturannya, tapi dalam bentuk kesepakatan - kesepakatan, hasil badami, hasil lobi, “hasil silaturahim”, menjadi sebuah kesepakatan baru. 

Kesepakatan baru dalam bentuk lisan inilah yang akan terus melahirkan kesepakatan - kesepakatan baru lainnya. Ini adalah akibat dari toleransi, yaitu sebagai bentuk pemuaiannya atau pergeseran - pergesera akan nilai keakuratannya

Toleransilah kalau saya agak terlambat ke lapangan upacara Hardiknas pagi ini karena butuhnya secangkir kopi pahit dan menikmati panganan kecil alakadarnya buat sarapan pagi.

Selamat pagi Indonesia-ku. Selamat Ber-Hari Pendidikan Nasional.


Majalengka,02 Mei 2012


1 komentar:

  1. Pendidikan harus menjadi wahana pembebasan, bukan penindasan. Namun, faktanya, pendidikan telah menjadi sarana untuk melanggengkan sistem penindasan.

    Konsep pendidikan "rekening bank" merupakan konsep pendidikan menindas. Konsep pendidikan "rekening bank" adalah otak peserta didik ibarat rekening kosong yang siap diisi uang oleh pendidik. begitu kata Freire.

    Freire juga mengkritik konsep dikotomi pendidik dan peserta didik. Menurutnya mengajar adalah proses belajar. Hal yang paling dikritik keras oleh Freire adalah peserta didik "diharamkan" untuk kritis, tapi harus siap dijejali "ilmu". Konsep pendidikan yang menindas adalah: pendidik seolah-olah serba tahu, dan peserta didik seolah-olah tidak tahu apa-apa.

    Sayang, menurut Freire, kurikukum pendidikan dibuat untuk kepentingan penindas. Maka kurikukum adalah obyek politik. Membebaskan peserta didik dari sistem, budaya dan kurikukum yang menindas adalah bagian dari pembebasan umat manusia. Maka kita juga harus melawan kurikulum yang menindas. Pelajaran-pelajaran "politis" harus dihapuskan. Melanggengkan pelajaran2 bermuatan pesan politik penguasa sama dengan melanggengkan pendidikan kolonialis ..... Selamat Hari Pendidikan Nasional !!!

    BalasHapus

Sahabat pengunjung yang baik,mohon tuliskan kesan Anda pada blogs sederhana kami ini. Terikasih Anda sudah menengok pojok tulisan ini.