Ternyata dunia modern yang mengukir kisah sukses secara materi dan kaya ilmu pengetahuan serta teknologi, agaknya tidak cukup memberi bekal hidup yang kokoh bagi manusia. Sehingga banyak manusia modern tersesat dalam kemajuan dan kemodernannya. Manusia modern kehilangan aspek moral sebagai fungsi kontrol dan terpasung dalam sangkar the tyrany of purely materials aims, begitu frasa Bertrand Russel dalam bukunya The Prospect of Industrial Civilazation.
Para sosiolog, sebagaimana dikutip oleh Haedar Nashir, berpendapat bahwa terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, pertama terjadi pada level pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran. Level kedua, berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku, yang oleh Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa acuan norma (normlessnes). Level ketiga, pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat, yang oleh Ogburn disebut gejala kesenjangan kebudayaan atau “cultural lag”. Artinya, nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan.
Pengamatan para sosiolog tersebut juga disampaikan oleh Syafi’i Ma’arif dengan bahasa yang lain, bahwa modernisme gagal karena ia mengabaikan nilai-nilai spiritual transendental sebagai pondasi kehidupan. Akibatnya dunia modern tidak memiliki pijakan yang kokoh dalam membangun peradabannya. Modernisme telah mengakibatkan nilai-nilai luhur yang pernah dimiliki dan dipraktekkan oleh manusia kini terendam lumpur nilai-nilai kemodernan yang lebih menonjolkan keserakahan dan nafsu untuk menguasai.
Illustrasi krisis kemanusiaan modern ini dapat dicermati dari pelbagai ironi dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya pelbagai alienasi (keterasingan) dalam kehidupan manusia. Ada alienasi etologis, yaitu terjadinya sebagaian masyarakat yang mulai mengingkari hakikat dirinya, hanya karena memperebutkan materi. Ada pula alienasi masyarakat, yaitu keretakan dan kerusakan dalam hubungan antarmanusia dan antarkelompok, sehingga mengakibatkan disintergrasi. Ada pula alienasi kesadaran, yang ditandai dengan hilangnya keseimbangan kemanusiaan karena meletakkan rasio atau akal pikiran sebagai satu-satunya penentu kehidupan, yang menafikan rasa dan akal budi.
Peristiwa yang lain yang merupakan ironi manusia modern adalah keyakinan bahwa hidup berdampingan dengan rukun lebih baik daripada hidup bermusuhan, namun mereka memilih atau kadang terpaksa memilih hidup gelisah dengan permusuhan. Contoh paling kontemporer adalah Presiden Goerge W. Bush memilih ‘gelisah’ dengan memilih perang, dengan biaya nilai-nilai kemanusiaan yang begitu mahal, daripada menyelesaikan permasalahan di meja perundingan (diplomasi).
Shariati berpendapat bahwa krisis kemanusiaan manusia modern berakar pada dimensi sistem kemasyarakatan dan ideologi dari kebudayaan modern yang kini dominan di hampir setiap penjuru dunia. Suatu sistem kehidupan yang serba saling bertentangan di dalam dirinya dan mengabaikan jati diri manusia. Pusat petaka itu adalah kebudayaan materi dalam alam pikiran Humanisme-antroposentris, yang menafikan kehadiran agama, yang lahir di saat awal kemunduran kebudayaan Islam dan masa Renaissance di Eropa Barat.
Perkembangan aliran Humanisme-antroposentri ini sangat kuat, terutama dalam perlawanannya terhadap pikiran teosentris. Sehingga terdapat kemungkinan adanya suatu pengaruh antitesis secara ekstrim yang mengakibatkan perkembangan humanisme-antroposentris ini sangat menolak paham teosentris. Nilai-nilai seperti individualisme, kebebasan, persaudaraan, dan kesamaan adalah mainstream paham ini.
Berawal dari penolakan secara ekstrim terhadap pikiran tentang Tuhan, keagamaan dan supranatural, pendewaan terhadap rasio dan materi yang disebarkan secara canggih melalui ilmu pengetahuan, teknologi serta proses ekonomi, politik dan budaya itulah krisis kemanusiaan merajalela sebagai konsekuensi logisnya. Dan, di saat itu umat muslim dalam masa kemunduran yang menelan mentah-metah peradaban yang dibangun dengan pondasi antitesis terhadap aliran yang bermuara pada Tuhan, agama atau supranatural.
Krisis kemanusiaan modern ini dikritik oleh banyak pemikir yang kemudian memunculkan aliran Postmodernisme. Posmodernisme menawarkan pikiran baru yang toleran terhadap pluralitas, pembongkaran dan lokalitas. Hanya saja, aliran ini ternyata walaupun mengusung pluralitas namun toleransi terhadap pendukung posmodernisme yang berbasic agama dirasakan kurang memberi tempat. Sehingga posmodernisme juga dipandang sebagai aliran yang tidak memiliki persingungan dengan spiritualitas dan moralitas. Secara lugas, Ahmed menilai bahwa Postmodernisme belum cukup berkesan di mata kaum muslim.
Krisis kemanusiaan yang oleh banyak pihak diyakini sebagai anak kandung dari Modernisme tidak juga mendapatkan jalan keluarnya dengan munculnya postmodernisme. Akhirnya, banyak pihak mencoba menoleh kembali kepada agama.
Islamizing Curricula
Salah satu cendekiawan muslim yang konsen pada usaha mencari solusi dari lingkaran krisis kemanusiaan tersebut adalah Ismail Raji Al Faruqi. Al Faruqi berpendapat bahwa pengetahuan modern memunculkan adanya pertentangan wahyu dan akal di kalangan umat muslim. Memisahkan pemikiran dari aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius. Oleh karena itu, Al Faruqi berpendapat diperlukan Islamisasi Ilmu dan upaya tersebut beranjak dari tauhid. Artinya pengetahuan islami selalu menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup.
Dalam konteks pendidikan, al Faruqi melontarkan kritik tajam berkaitan dengan paradigma pendidikan Islam selama ini yang mengadobsi sistem filsafat Barat, terutama tentang konsep dikotomi pendidikan. Menurutnya, dikotomi pendidikan mutlak harus dihilangkan diganti dengan paradigma pendidikan yang utuh. Konsep pendidikan Islam yang selama ini ada tidak megacu pada konsep awal tauhid. Jika Islam memandang tujuan pengembangan obyek didik untuk mencapai penyadaran atas eksistensi tuhan (tauhid), maka segala proses yang dilakukan untuk itu idealnya berakar pada konsep tauhid.
Kecermatan dan daya analisis al Faruqi dalam usaha keluar dari lingkaran krisis kemanusiaan akan dibahas dalam tulisan ini. Seberapa efektif konsep-konsep dan metodologi Islamisasi pengetahuan al Faruqi ini mampu menyumbangkan usaha keluar dari krisis kemanusiaan, terutama dalam bidang pendidikan dengan gagasan Kurikulum Pendidikan Islam-nya. Lihat Lengkap: Islamizing Curricula
Mengenai ‘Islamisasi pengetahuan’ dalam bidang pendidikan (islamizing curricula), Al Faruqi berusaha menata paradigma pendidikan Islam dalam kerangka lima tujuan rencana kerja islamisasi pengetahuan di atas. Prinsip pengembangan kurikulum pendidikan Islam yang perlu dicermati adalah; pertama, menguasai sains modern; kedua, menguasai warisan Islam; ketiga prinsip kesatuan (unity) yang harus melingkupi seluruh kajian dalam kurikulum pendidikan Islam.
Prinsip penguasaan sains modern harus berupaya mengarahkan pemahaman pada tidak adanya dikotomi dalam melihat konsep keilmuan dalam Islam. Penguasaan atas warisan Islam dilakukan secara terstruktur dalam formulasi kurikulum. Warisan Islam yang dimaksud di sini adalah al Qur’an, as Sunnah, institusi Islam, kesenian, hukum, undang-undang, kalam (teologi), tasawuf, falsafah, hellenistik, metafisika, epistimologi atau sains taba’i, axiologi dan etika, serta estetika Islam.prioritas perlu dibuat dalam penguasaan khazanah Islam, terutama prinsip-prinsip pokok, masalah-masalah pokok dan tema-tema abadi seperti tajuk-tajuk yang mempunyai kemungkinan relevansi kepada persoalan-persoalan masa kini harus menjadi sasaran strategis penelitian dan pendidikan Islam.
Dari dua khazanah ini ditata sedimikian rupa sehingga menjadi menjadi satu sistem integral yang sintesis-kreatif, menjadi sebuah konsep yang integral, terpasu, dan saling melengkapi antara disiplin keislaman dan modern. Tidak menggunakan hanya khazanah Islam atau hanya khazanah modern, dan tidak juga mengunakan salah satunya, namun membuat sintesis antara kedua khazanah tersebut. Hal ini dilakukan mengingat khazanah Islam yang lama mengalami kemandegan dan keterbelakangan, sementara khazanah Barat mapu memberikan gambaran tentang latar belakang, sumber, tujuan, dampak positif dan negatif. Secara normatif, sintesis ini tidak bertentangan dengan pandangan Islam karena karakteristik pandangan Islam adalah the unity of truth.
Secara tegas, ide tentang islamisasi kurikulum yang secara filosofis dikemukan oleh al Faruqi didukung oleh Ahmed Shalabi. Menurutnya, perubahan kurikulum Islam gambaran kerangkanya harus mewarnai beberapa aspek, yaitu:
- Pengenalan terhadap beberap wacana seperti perbandingan agama dan islamic studies yang didefinisikan secara jernih sebagai sebuah pola filosofi baru.
- Adanya modifikasi atas metodologi dan prinsip pengajaran sejarah Islam.
- Menyelaraskan kembali materi pengajaran hukum Islam.
- Menghilangkan beberapa kiasan dan pengaruh sejarah Yahudi yang diintrodusir secara sengaja ke dalam beberapa kajian.
- Merivisi buku-buku teks dengan gaya yang menarik dan tidak membingungkan dalam memenuhi kebutuhan masa kini dan kurikulum.
Selanjutnya, untuk melengkapi pola sintesis tersebut, Ahmed Shalabi berpendapat pelajar muslim harus diperkenalkan secara intensif dengan subyek kajian mengenai pengobatan, mesin, pertanian, matematika, dan musik. Perpaduan ini pada gilirannya akan memutuskan dikotomi ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, subtansi sains dan keilmuan ada the unity of God, yang dapat diakses dari semua disiplin, termasuk kajian ilmiah.
Analisa Metodologi Kurikulum Islam
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa islamizing the curricula integral dalam lima kerangka kerja Islamisasi pengetahuam. Subpokok bahasan berikut berusaha untuk menganalisis secara kritis metodologi Islamisasi pengetahuan.
Memahami wawasan pemikiran seseorang adalah sangat tidak mungkin mengabaikan setting sosial dan nuansa kultural di mana orang tersebut beraktivitas serta mengapresiasikan gagasan-gagasannya. Hal ini tentunya berhubungan dengan ekstrenal individu berangkutan yang mempengaruhi dirinya.
Perjalanan hidup Al Faruqi diwarnai oleh asimilasi budaya yang tampaknya membentuk karakter unik. Pengaruh pendidikan, kondisi sosial-kultural ikut mempengaruhi karakteristik al Faruqi. Umpamanya, ketika al Faruqi di al Azhar Mesir, maka kemungkinan pengaruh yang tertanam dalam karakternya adalah spirit-loyalitas dan apresiatif terhadap agamanya.
Menurut Kafrawi Ridwan, penjelajahan intelektual al Faruqi, sangat dipengaruhi oleh kultur yang dijumpainya, telah membentuk sistem pemikiran yang bersifat bayani, burhani dan irfani sekaligus. Corak pemikiran yang bersifat bayani mencerminkan khas tipikal Arab di mana al Faruqi pernah intens di Pakistan, tempat kelahirannya. Selanjutnya, sebagai orang yang mendalami filsafat, al Faruqi bercorak pemikiran yang bersifat filosofis yang membentuk corak burhani. Sedangkan kehidupannya di Amerika yang lebih mengedepankan metodologi dan paradigma keilmuan memberikan corak pemikiran al Faruqi berwawasan irfani, untuk mengkonstruksi bangunan epistimologi Islam.
Gagasan besar al Faruqi, yaitu Islamisasi Pengetahuan mendapat tanggapan yang cukup beragam. Fazlur Rahman berpendapat bahwa islamisasi ilmu tidak perlu dilakukan. Menurutnya, yang perlu adalah menciptakan atau menghasilkan para pemikir yang memiliki kapasitas berpikir konstruktif dan positif. Bahkan, bagi Rahman mustahil dan sia-sia mengusahan ilmu yang islami, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan telah menempatkan posisinya universalnya sendiri, sehingga tidak ada sains Islam, sains kristen, sains Yahudi, sains Budha dan seterusnya.
Penanggap lain atas gagasan islamisasi ilmu antara lain Sardar, menurutnya memang diperlukan menciptakan sistem Islam yang berbeda dengan sistem Barat. Artinya, Sardar sepakat dengan gagasan islamisasi ilmu, namun Sardar kurang sepakat dengan langkah-langkah islamisasi ilmu karena mengandung cacat fundamental. Sardar berpendapat bahwa langkah-langkah yang mementingkan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-disiplin ilmu modern bisa membuat terjebak dalam westernisasi Islam. Upaya merelevansikan ini mengantarkan pengakuan bahwa ilmu Barat sebagai standar. Dengan begitu, upaya islamisasi ilmu masih megikuti kerangka (mode of thought) atau pandangan duni (word view) Barat. Oleh karenanya percuma apabila akhirnya dikembalikan standarnya pada ilmu pengetahuan Barat. Menurut Sardar, Islamisasi ilmu harus dimulai dengan membangun word view Islam dengan titik pijak utama membangun epistimologi Islam. Hanya dengan langkah inilah yang akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang dibangun atas prinsip-prinsip Islam.
Pada dasarnya perdebatan apakah islamisasi ilmu perlu dilakukan atau tidak, berawal dari pertanyaan apakah ilmu bebas nilai atau tidak. Jawaban yang diberikan oleh al Faruqi tentu berbeda dengan jawaban yang diberikan oleh Rahman, sehingga mempunyai pandangan yang berbeda. Jawaban dari pertanyaan ini, selain memunculkan jawaban ya dan tidak, juga memunculkan jawaban ya pada sebagian disipilin ilmu (ilmu-ilmu sosial) dan tidak pada sebagain disiplin ilmu (ilmu-ilmu pasti).
Penulis sendiri berpendapat bahwa sangat penting untuk menformulasikan sebuah sistem, yang mempunyai paradigma berbeda dengan paradigma ilmu modern, yang banyak pakar menilai gagal membangun peradaban yang menghargai kemanusiaan. Penulis lebih sepakat dengan Sardar yang setuju dengan gagasan islamisasi ilmu dengan mode of thouht dan word view yang dikonstruk ulang. Konstruk ulang tersebut harus berpijak pada prinsip the unity of God.
Dalam fokus islamizing curricula, penulis sepakat bahwa dikotomisasi-dikotomisme ilmu pengetahuan yang berimbas pada rumusan kurikulum harus dihilangkan. Menurut Hassan Hanafi sebagaimana dikuti Abdurrahman Mas’ud dimensi akal dan wahyu tidak terjadi pertentangan, antara dimensi reason dan revelation tidak ada pertentangan dalam Islam. Islam adalah religion of nature. Alam penuh tanda-tanda, pesan-pesan ilahi yang menunjukkan kehadiran suatu sistem global. Semakin jauh ilmuwan memahami sains, maka dia akan memperoleh wisdom berupa philosophic perennis yang dalam filsafat Islam disebut transendence. Iman tidak bertentangan dengan sains karena iman adalah rasio dan rasio adalah alam. Konflik antara sains iman hanya merupakan struggle antara kekuatan yang bertikai, yakni konservatif dan progressif. Kelompok pertama bersifat tertutup dan yang kedua terbuka. Yang pertama sering menformalkan dan mendogmakan dan yang kedua mendeformalkan dan mendedogmakan.
Simpulan
Beberapa revisi terhadap konsep Kurikulum akan menghasilkan suatu sistem yang mungkin sangat berguna bagi upaya sintesa kreatif. Sintesa kreatif yang memiliki mode of thought dan word view yang formulasinya dari konsep Tauhid, yang berbeda dengan filsafat Barat. Termasuk di dalam proses ini adalah Islamizing Curricula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sahabat pengunjung yang baik,mohon tuliskan kesan Anda pada blogs sederhana kami ini. Terikasih Anda sudah menengok pojok tulisan ini.