Demokrasi bukanlah hanya persoalan pemilihan pemimpin,
demokrasi juga bukan hanya menghormati hak seseorang sebagai manusia, demokrasi
pun bukan juga hanya persoalan menghormati perbedaan pendapat. Namun, jika
dilihat berdasarkan prinsipnya, maka demokrasi adalah: menjadikan setiap rakyat
memiliki kedaulatan untuk membuat hukum mengambil hak Tuhan sebagai pemegang keadilan dan pembuat
hukum tunggal lalu menyerahkannya kepada manusia. Sebab demokrasi memberikan hak kepada
semua rakyat untuk menikmati kebebasan secara universal tanpa batasan yang jelas alias ambigu.
1. Sekularisasi Sebagai Prasyarat Dari Demokratisasi.
Hal ini selaras dengan pandangan Fukuyama dan Huntington
tentang perlunya proses sekularisasi sebagai prasyarat dari demokratisasi.
Karena itu, Fukuyama mengatakan ketika Islam dipandang tidak compatible dengan
demokrasi, maka dunia Islam juga tidak kondusif bagi penerapan demokrasi yang
bersifat sekular sekaligus liberal. Huntington dalam buku Gelombang
Demokrasi Ketiga, juga mengungkapkan penelitian adanya hubungan negative
antara Islam dan Demokrasi, namun sebaliknya adanya korelasi yang tinggi antara
Kristen Barat dengan demokrasi. Di tahun 1988, agama Katolik dan Protestan
merupakan agama dominan pada 39 dari 46 negara demokratis. Ke-39 negara
demokratis itu merupakan 57 persen dari 68 negara dimana Kristen Barat
merupakan agama dominan. Sebaliknya, dari 58 negara agama dominan bukan Kristen
Barat, hanya 7 negara (12 persen) yang dapat dikatakan demokratis.
Jadi simpul
Huntinton, demokrasi sangat jarang terdapat di negeri-negeri di mana mayoritas
penduduknya beragama Islam, Budha, atau Konfusius. Hal ini disebabkan agama
Kristen Barat menekankan martabat individu dan pemisahan antara gereja dan
negara (sekuler).[6] Fukuyama sendiri pun menyorot ada dua kelompok agama yang
sangat sulit menerima demokrasi, yaitu Yahudi Ortodoks dan Islam Fundamentalis,
yang ia sebut sebagai “totalistic religion” yaitu agama yang memiliki
sistem mengatur semua aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat publik maupun
pribadi, termasuk wilayah politik. Meskipun agama-agama itu bisa menerima
demokrasi, tetapi sangat sulit menerima liberalism, khususnya kebebasan
beragama.
Adian Husaini dalam bukunya Wajah Peradaban Barat dengan
tegas mengatakan demokrasi liberal sepanjang sejarah peradaban Barat juga
menyimpan banyak kelemahan-kelemahan internal yang fundamental. Sebab
menurutnya dalam sistem inilah, ilmu pengetahuan tidak dihargai. Orang pintar
disamakan haknya dengan orang bodoh, seorang Profesor ilmu politik memiliki hak
suara yang sama dengan pemabuk dan penzina. Seorang yang taat beragama
disamakan hak suaranya dengan seorang preman, pengangguran dan oportunis.
Masih menurut Husaini, sebenarnya, Barat pun sadar benar,
Demokrasi Liberal tidak dapat diterapkan pada semua aspek kehidupan umat
manusia, khususnya dunia Internasional. Karena itu, sejak awal berdirinya PBB,
24 Oktober 1945, Barat memaksakan sistem “aristoktarik”, dimana kekuasaan PBB
diberikan kepada 5 negara saja yang dikenal dengan The Big Five (AS,
Rusia, Prancis, Inggris, dan Cina). Kelima Negara inilah yang memiliki hak
istimewa berupa hak Veto. Pasal 24 Piagam PBB menyebutkan bahwa dewan
ini mempunyai tugas yang sangat vital yaitu “bertanggung jawab untuk memelihara
perdamaian internasional”. Jika satu resolusi diveto oleh salah satu anggota
tetap Dewan Keamanan PBB, maka resolusi itu tidak dapat diterapkan.
Jika mereka (Barat) percaya pada falsafah demokrasi, bahwa
suara rakyat adalah suara tuhan, mengapa Barat selalu menolak melakukan
restrukturisasi PBB, yang sudah puluhan tahun dituntut mayoritas Negara dunia?
Ketika mayoritas anggota PBB di Majelis Umum menyetujui satu resolusi,
tetapi hanya karena satu Negara anggota tetap DK PBB tidak setuju, maka
keputusan PBB itu menjadi tidak bergigi. Itulah sebabnya DK PBB tidak pernah
berhasil mengeluarkan resolusi yang mengecam berbagai tindakan AS yang
menyerang Negara-negara muslim.
2. Demokrasi Tidak Memberi Garansi Pada Kesejahteraan Rakyat
Sebenarnya studi tentang hubungan demokrasi dan
kesejahteraan sudah lama dilakukan. Pada tahun 1999, Barron’s menggunakan data
dunia dari tahun 1960 selama kira-kira 40 tahun menyimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara demokrasi dengan kesejahteraan. Adam Smith menggagas market
mechanism pada 1854 – 2011 mengatakan Krisis selalu bertalian dengan demokrasi,
dan itu terjadi berkali-kali.
Dalam buku, Apakah Demokrasi Itu?,yang
disebarluaskan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, di halaman
terakhir ditulis bahwa “Demokrasi sendiri tidak menjamin apa-apa. Sebaliknya,
ia menawarkan kesempatan untuk berhasil serta resiko kegagalan”.
Maka Jelas keliru kalau kesejahteraan yang menjadi dambaan
masyarakat disandarkan pada proses demokratisasi. Demokrasi digembar-gemborkan
sebagai pemerintahan yang kedaulatannya terletak di tangan rakyat. Padahal ini
hanyalah mimpi di siang bolong. Dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya
rakyat sebagai penentu keinginan. Sejarah AS sendiri menunjukkan hal tersebut.
Presiden Abraham Lincoln (1860 – 1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah, “from
the people, by the people, and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln
meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan
bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by
company, and for company”(dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk
perusahaan). Sejak awal kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi ada di tangan
segelintir rakyat (bukan di tangan rakyat), yakni di tangan para pemilik modal.
Hanya saja, mereka menipu rakyat dengan menggembar-gemborkan seolah-olah kedaulatan
ada di tangan rakyat. Jadi, bila perubahan yang dikehendaki adalah daulatnya
rakyat maka demokrasi tidak memberikan hal itu. Yang berdaulat dan berkuasa
dalam demokrasi adalah para pemilik modal yang memang memiliki uang.
Karena itu, tidak aneh jika di Afrika Timur lebih dari 12
juta orang menderita kelaparan seperti di Somalia, Kenya, Djibouti, Sudan, dan
Uganda. Di Somalia hampir setengah penduduknya menghadapi krisis kemanusiaan
(3.7 juta orang). Satu dari tiga anak-anak kekurangan gizi. Hal ini dilaporkan
sebagai salah satu krisis terburuk yang memukul Afrika Timur di hampir enam
dekade. Yang paling mengejutkan, disana dengan mudah kita menemui anak-anak
kurus mengisap payudara kosong dari ibunya yang lemah dan kelaparan. Orang tua
sangat lemah dan tidak mampu berjalan.
Amerika pun tidak luput dari kemiskinan, jumlah orang yang
tinggal di kawasan-kawasan sangat miskin telah bertambah sepertiga selama
dasawarsa terakhir. (The Brookings Institution). Bahkan menurutVoice
of America, jumlah total angka kemiskinan di negara demokrasi terbesar itu
meningkat pada posisi tertinggi sebanyak 46,2 juta jiwa. Angka ini merupakan
rekor tertinggi sejak Badan Statistik AS mulai melakukan pendataan keluarga
miskin pada tahun 1959.
Di sisi lain perekonomian Amerika mengalami kebangkrutan.
Perang Irak dan Afghanistan telah menguras keuangan negara Paman Sam ini,
ditambah lagi krisis keuangan tahun 2008 telah menghancurkan industri jasa
keuangan Amerika. Pada bulan September 2010 lalu, telah kolaps bank Amerika
yang ke-300. Dari tahun 2007-2010, perekonomian Amerika telah mengalarni
defisit hingga lebih dari 16 trilyun dollar AS. Amerika juga menjadi salah satu
negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di dunia, yaitu 17 persen, sebuah
angka pengangguran tertinggi selama 45 tahun temkhir. Saat ini utang negara
adidaya Amerika Serikat mencapai batas atas yaitu $ 14.300.000.000.000
($14.3 trilliun), sehingga utang per kapita penduduk AS termasuk tertinggi di
dunia. Setiap warga AS mempunyai utang 13 kali lebih besar dari pendapatan
mereka.
Dengan demikian, bila perubahan yang dikehendaki adalah
terwujudnya kesejahteraan, demokrasi pun bukan jalan untuk itu. Realitas
menunjukkan bahwa Hongkong sangat pesat ekonominya sekalipun tanpa demokrasi.
Begitu juga Korea Selatan dan Taiwan. Pertumbuhan ekonomi Korea Selatan pada
triwulan pertama 2011 mencapai 8,1% tertinggi di antara negara-negara anggota
Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Adapun pertumbuhan ekonomi
Taiwan mencapai 10,47% pada akhir 2010 (Okezone.com. 2/2/2011). Padahal kedua
negara tersebut semiotoriter.
Pada dekade 1970-an dan 1990-an, sebagian besar
negara-negara industri baru (newly industrialised countries) yang
memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tergolong otoriter. sebagian besar
negara-negara di Timur Tengah yang makmur juga tidak demokratis.
Adapun India,
yang ketika itu sudah demokratis, memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan
kemakmuran di bawahnya. Vietnam yang secara de facto menganut sistem
pemerintahan otoriter juga mendemonstrasikan kinerja ekonomi yang menawan sejak
pertengahan 1990-an. Pada 2011 pertumbuhan ekonominya mencapai 7%, bahkan
diduga akan menjadi raksasa baru ekonomi Asia (Antara, 7/5/2011). Singapura
yang juga semiotoriter menjadi salah satu negara paling makmur di dunia tanpa
perlu mengalami demokratisasi. Hal yang sama terjadi pada Tiongkok yang bisa
tumbuh pesat seperti sekarang, meski pemerintahannya tetap otoriter.
Sebaliknya, Indonesia yang dibangga-banggakan sebagai negara demokratis justru
rakyatnya tetap miskin, sementar korupsinya makin merajalela.
Banyak negara otoriter berhasil mengalami pertumbuhan
ekonomi tinggi seperti sejumlah negara Amerika Latin di tahun 1970-1980-an dan
Asia Timur tahun 1980-1990-an. Sebaliknya, negara-negara berkembang yang relatif
demokratis seperti Filipina, Fiji, atau India, setidaknya hingga pertenganan
1990-an, terpuruk pada siklus pertumbuhan rendah.
Di AS, misalnya, kemakmuran
yang selanjutnya diikuti dengan sejahteranya kehidupan masyarakat AS bukanlah
hasil demokrasi, tetapi buah dari imperialismenya terhadap bangsa-bangsa lain.
Dalam rangka menyelesaikan masalah ekonomi dalam negerinya, AS menjajah Irak
dan Afganistan untuk mendapatkan minyak. AS mendapatkan kemakmuran karena ‘democratic
imperialism’ yang dia lakukan. Tidak pernah ada dalam sejarah suatu negara
miskin, lalu berubah menjadi demokratis, dan melalui demokrasi itu negara
tersebut menjadi sejahtera. Tidak ada! Realitas ini menggambarkan bahwa
demokrasi bukanlah jalan bagi perubahan menuju kesejahteraan apalagi perubahan
hakiki.
Kalau yang dikehendaki itu adalah perubahan sistem
kehidupan, demokrasi hanya memberikan perubahan orang/rezim. Sistem yang
diterapkan sama: sekular. Sekadar contoh, Indonesia dari awal kemerdekaan tetap
menjalankan sekularisme. Memang, terjadi perubahan pendekatan mulai dari
Sosialisme pada Orde Lama, Kapitalisme pada Orde Baru, dan Neoliberalisme pada
era Orde Reformasi. Namun, sistemnya tidak berubah: sekularisme.
Di Indonesia, ”Hasil jajak pendapat Lingkaran Survei
Indonesia, sebanyak 86,6 persen responden menyatakan menolak jika harga bahan
bakar minyak bersubsidi dinaikkan pemerintah. Hanya 11,26 persen setuju
kenaikan dan sisanya, yakni 2,14 persen, tidak menjawab”. Hasil survei itu
disampaikan Adjie Alfaraby, peneliti LSI, saat jumpa pers di Kantor LSI di
Jakarta, Minggu (11/3/2012 ) Beginikah demokrasi? Pemerintah tetap
menaikkan BBM. Tipuan belaka, dari dulu demokrasi adalah alat untuk mengambil
hak Allah dalam menentukan halal-haram berdasar suara terbanyak, tapi bila
berhadapan dengan kedzaliman penguasa, suara terbanyak hanya mimpi.
3. Realita Kehidupan Bangsa Indonesia dalam Sistem Demokrasi
Semua orang tahu bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya
raya, seluruh jenis barang tambang nyaris ada di Indonesia. Minyak bumi, gas,
batu bara, emas dan tembaga ada di dalamnya, bahkan dalam kadar yang melimpah.
Kekayaan laut Indonesia pun luar biasa. Indonesia juga memiliki areal hutan
tropis sangat luas.
Indonesia merupakan produsen kopi nomor empat dunia, teh
nomor enam dunia, minyak sawit nomor dua dunia, timah nomor dua dunia serta gas
alam nomor enam dunia. Kekayaan total indonesia mencapai US$ 13.869 per kapita.
Namun, akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalis,
sebahagian besar kekayaan alam negara hanya dinikmati segelintir orang, yang
sebahagian besarnya adalah pihak asing. Apalagi sejak tahun 60-an Pemerintah
Indonesia membuka pintung keterlibatan pihak swasta dalam pembangunan, yaitu
sejak dikeluarkannya UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU No. 6/1968). UU ini
memberikan peluang kepada perusahaan swasta untuk menguasai 49 persen saham di
sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN. Tahun 90-an Pemerintah kemudian
mengeluarkan PP No. 20/1994. Isinya bahwa investor asing boleh menguasai modal
di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN, hingga 95 persen.
Sehingga, di Aceh, cadangan gasnya yang mencapai 17,1
triliun kaki kubik, sudah 70 persen dikuras oleh Exxon Mobile, namun Aceh
menempati urutan ke-4 sebagai daerah termiskin di Indonesia. Di Minahasa dengan
cadangan emas 2 juta ons emas total, 80 persen dari penghasilan untuk Newmont,
20 persen untuk PT. Tanjung Sarapung, sementara setoran ke pemerintah hanya US$
104,12 juta. Di Papua sebesar US$ 4,2 miliar dolar saham maksimal 90% diambil
oleh PT Freeport, dan pemerintah hanya kebagian 10 % plus pajak. Menurut Badan
Pusat Statistik 2004, Papua yang memiliki cadangan emas terbesar di dunia
justru tergolong provinsi dengan penduduk termiskin terbesar. Bahkan lebih
parah lagi, di Blok Gas Natuna dengan potensi cadangan cukup besar mencapai 46
triliun kaki kubik, pemerintah tidak menguasai satu persen pun saham, karena
sepenuhnya (100 persen saham) dikuasai pihak Exxon Mobil. Dalam sejarah
investasi asing di dunia, konon hanya Indonesia yang ada bagi hasil 100:0. luar
biasa!
Di Riau, yang selama ini dikenal sebagai salah satu daerah
penghasil minyak terbesar di Indonesia, dimana pemerintah saja kebagian Rp. 68
Triliun dari hasilnya. Namun, menurut Balitbang Provinsi Riau dari 4.543,584
penduduk, 22,19 persennya tergolong miskin. Bahkan Provinsi kaya ini merupakan
model daerah dengan problem kemiskinan terlengkap dari berbagai aspek.
Lain lagi dengan Kalimantan Timur, daerah ini bahkan bisa
disebut provinsi terkaya di Indonesia. Produksi batubaranya sekitar 52 juta
meter kubik per tahun; emas 16,8 ton setahun; perak lebih dari 14 ton pertahun;
tahun 2005 gas alamnya mencapai 1.650 miliar meter kubik; minyak bumi 79,7 juta
barel pertahun, dengan sisa cadangan masih ada 1,3 miliar barel. Namun dari 2,5
juta penduduknya, sekitar 313.040 orang atau 12,4 persen tergolong miskin.
Itulah fakta ironis negeri ini, yang telah lebih dari
setengah abad menerapkan demokrasi, bahkan terakhir disebut sebagai negara
paling demokratis di dunia.
Hal ini terjadi, karena kedaulatan ada di tangan pemilik
modal bukan rakyat. Buktinya UU yang lahir dari para wakil rakyat itu semuanya
sarat dengan kepentingan pemilik modal.
Lahirnya UUD 1945 amandemen yang finalnya tahun 2002 adalah kran awal dimulainya intervensi
asing dalam perundang-undangan (sistem kolonialisasi lewat neoliberalisme masuk hukum positif di Indonesia).
Sehingga lahirlah UU Migas, UU Listrik, UU SDA, UU Penanaman Modal yang sarat
dengan kepentingan asing. Dampaknya asing semangkin leluasa menjarah hasil
kekayaan alam negeri ini, yang merupakan milik rakyat. Hasilnya, rakyat
sengsara. Siapa yang disalahkan? Pastinya rakyat. Karena sesuai dangan makna
demokrasi yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Alhasil, demokrasi tidak pernah mensejahterakan rakyat,
karena demokrasi tidak pernah berjanji untuk mensejahterakan rakyat, disamping
itu demokrasi juga sistem yang menyesatkan. Kenapa menyesatkan? Sebab demokrasi
menjadikan mekanisme suara terbanyak untuk menentukan kebenaran.
Padahal dalam Al-Quran sudah jelas mengatakan, “Dan jika
kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”
(TQS al-An’am [6]: 116)
4. Indonesia perlu Melakukan Revolusi Untuk Mensejahterakan
Rakyatnya
Untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka tidak ada cara
lain dengan membuang sistem demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis yang telah
terbukti gagal mensejahterakan rakyat. Bila terus dipaksakan kondiri rakyat
akan semakin terpuruk dan negara gagal untuk mewujudan tujuan negaranya. Lewat
revolusi sistem baru yang bisa menjamin adanya sistem yang adil yang dapat dipertanggungjawabkan
untuk mensejahterakan penduduk nya yaitu penerapan syariah Islam secara kaffah
oleh negara.
Sejarah telah membuktikannya, syariah Islam telah
menciptakan kesejahteraan rakyat bagi jutaan manusia selama berabad-abad, tanpa
meneganal kata krisis.
Pada masa khalifah umar bin Abdul Aziz, beliau pernah
menugaskan salah seorang pegawainya yang bernama Yahya bin Sa’ad untuk
membagikan zakat kepada penduduk fakir miskin dikawasan Afrika Utara. Tidak
lama kemudian ia kembali menghadap khalifah, dan melaporkan bahwa tidak ada
seorang pun yang fakir dan miskin, yang berhak menerima zakat. Ini
menggambarkan bahwa untuk pertama kalinya di dalam sejarah, tidak ada penduduk
afrika yang fakir dan miskin, semuanya mendapatkan kemakmuran dan kesejahteraan
hidup. Dan hal itu hanya terjadi tatkala Afrika berada dibawah sistem Islam.
Sebab dalam sistem politik Islam, kedaulatan hanyalah milik
syariah bukan milik rakyat. Imam asy-Syaukani, dalam bukunya menyatakan bahwa
sejak dulu tidak ada perbedaan di tengah kaum muslim bahwa kedaulatan hanya
milik syariah. Artinya syariahlah yang mengelola dan mengendalikan kehendak
individu maupun umat.
Kemudian timbul pertanyaan, apa keuntungan dan manfaat
kedaulatan ditangan syariah?
Pertama, sebagai mana kita ketahui, kedaulatan adalah
kekuasaan tertinggi, tidak ada lagi kekuasaan yang lebih tinggi, bahkan yang
sepadan sekalipun.
Kedua, kekuasaan itu bersifat mutlak. Artinya, mencakup
semua perkara, semua orang dan semua kondisi.
Ketiga, kekuasaan itu memiliki
kontrol penuh atas segala urusan.
Dengan demikian, karena kedaulatan itu ialah kekuasaan yang
mengelola dan mengendalikan kehendak suatu umat. Maka dalam Islam, Kekuasaan
tertinggi yang bersifat absolut, mutlak dan yang berhak mengeluarkan hukum
ialah yang Maha segala-segalanya yaitu Allah swt, yang bersumber dari al-Quran
dan Al-Hadits. Sebagaimana firmannya QS, an-Nisa’: 59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dengan demikian, berharap adanya perubahan hakiki pada
demokrasi ibarat punduk merindukan bulan. Utopis!
Wallahu a’lam bi ash-shawab.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Sahabat pengunjung yang baik,mohon tuliskan kesan Anda pada blogs sederhana kami ini. Terikasih Anda sudah menengok pojok tulisan ini.